“Enigma” adalah sebuah pertunjukan yang mengartikulasikan situasi ambang generasi pasca-otoritarianisme di Indonesia, sebuah generasi yang mewarisi krisis multidimensi, mulai politik, sosial, ekologi, hingga kekerasan struktural, dari rezim dan sistem terdahulu. Pertunjukan ini tidak diarahkan pada pencarian jawaban tunggal, melainkan memaparkan kebingungan, pertanyaan, serta strategi-strategi sementara untuk bertahan hidup.
“Enigma”menampilkan subjek generasi muda dalam bentuk representasi yang terfragmentasi, canggung, campur aduk, dan sesekali absurd. Tubuh-tubuh generasi muda adalah situs pergulatan yang memperlihatkan bagaimana strategi keseharian yang kecil, rapuh, dan tidak heroik, dapat membangun ruang bagi ketahanan, solidaritas, serta empati.
Dalam kerangka tersebut, generasi muda dibayangkan sebagai subjek katalisator, yakni agen yang menanggung beban masa lalu sekaligus membuka kemungkinan bagi konfigurasi masa depan. “Enigma”tidak hanya merepresentasikan keterhimpitan dan keterputusan sejarah, tetapi juga mengartikulasikan upaya merakit empati, merancang reparasi, dan menegosiasikan makna dalam lanskap sosial yang diliputi luka kolektif yang tak kunjung pulih.
“Enigma” is a performance that articulates the liminal condition of the post-authoritarian generation in Indonesia—a generation that inherits multidimensional crises, ranging from political, social, and ecological breakdowns to structural violence, passed down by previous regimes and systems. The work does not aim at producing a singular answer, but rather exposes confusion, questioning, and provisional strategies of survival.
“Enigma” stages young people as subjects rendered through fragmented, awkward, entangled, and at times absurd representations. Their bodies become sites of struggle, showing how small, fragile, and non-heroic everyday strategies can nonetheless generate spaces for resilience, solidarity, and empathy.
Within this framework, the young generation is envisioned as a catalytic subject—agents who bear the weight of the past while simultaneously opening possibilities for reconfiguring the future. “Enigma” not only represents the compression and discontinuities of history, but also articulates attempts to assemble empathy, to design reparative gestures, and to negotiate meaning within a social landscape saturated by unresolved collective wounds.